semangat

semangat
kasih sayang

Selasa, 20 Desember 2011

. Belajar dan Gaya Belajar

Belajar dalam pengertian luas adalah di mana guru murid mengetahui poko penting dari aspek-aspek perbuatan belajar.Pada umumnya belajar dapat kita lihat dari dua jenis pandangan yakni tradisional dan moderen.Pertama, pandangan tradisional, belajar adalah usaha memperoleh sejumlahilmu penegetahuan. “Pengetahuan” memegang peranan yang penting dalam hidup manusia,pengetahuan adalah kekuasaan siapa saja yang memiliki banyak maka ia akan mendapat kekuasaan.Kedua , pandangan moderen, belajar adalah proses perubahan tingkah laku perekat interaksi dengan lingkungannya.Seorang dikatakan melakukan kegiatan belajar setelah ia memperoleh hasil yakni terjadinya perubahan tingkah laku.
Dengan demikian, belajar merupakan suatu keharusan untuk manusia agar memperoleh ilmu pengetahuan sebagai proses perubahan tingkah laku yakni berintelektual tinggi
Lain ladang, lain ikannya. Lain orang, lain pula gaya belajarnya. Pepatah di atas memang pas untuk menjelaskan fenomena bahwa tak semua orang punya gaya belajar yang sama. Pun bila mereka bersekolah di sekolah atau bahkan duduk di kelas yang sama.
Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang dan ada pula yang sangat lambat. Karenanya, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama.
Sebagian siswa lebih suka guru mereka mengajar dengan cara menuliskan segalanya di papan tulis. Dengan begitu mereka bisa membaca untuk kemudian mencoba memahaminya. Tapi, sebagian siswa lain lebih suka guru mereka mengajar dengan cara menyampaikannya secara lisan dan mereka mendengarkan untuk bisa memahaminya. Sementara itu, ada siswa yang lebih suka membentuk kelompok kecil untuk mendiskusikan pertanyaan yang menyangkut pelajaran tersebut.
Cara lain yang juga kerap disukai banyak siswa adalah model belajar yang menempatkan guru tak ubahnya seorang penceramah. Guru diharapkan bercerita panjang lebar tentang beragam teori dengan segudang ilustrasinya, sementara para siswa mendengarkan sambil menggambarkan isi ceramah itu dalam bentuk yang hanya mereka pahami sendiri.
Apa pun cara yang dipilih, perbedaaan gaya belajar itu menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagia setiap individu bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya. Karenanya, jika kita bisa memahami bagaimana perbedaan gaya belajar setiap orang itu, mungkin akan lebih mudah bagi kita jika suatu ketika, misalnya, kita harus memandu seseorang untuk mendapatkan gaya belajar yang tepat dan memberikan hasil yang maksimal bagi dirinya.
Tentu saja, sebelum kita sendiri mengajarkannya pada orang lain, langkah terbaik adalah mengenali gaya belajar kita sendiri. Gaya belajar itu sendiri memiliki arti cara yang cenderung dipilih seseorang untuk menerima informasi dari lingkungan dan memproses informasi tersebut. Pertimbangan ini yang seringkali kita lupakan. Dengan kata lain, kita sendiri harus merasakan pengalaman mendapatkan gaya belajar yang tepat bagi diri sendiri, sebelum menularkannya pada orang lain. Ada banyak alasan dan keuntungan yang bisa kita dapatkan bila kita mampu memahami ragam gaya belajar, termasuk gaya kita sendiri.
Kalangan tua, biasanya menyerap banyak pengetahuan tentang gaya belajar, berdasarkan pengalaman yang telah mereka lewati. Misalnya, mereka pernah bekerja, menjalani latihan militer, mendidik dan membimbing anak, dan sebagainya. Rangkaian pengalaman yang mereka lewati itu, sesungguhnya, adalah bagian dari cara mereka mendapatkan pelajaran berarti yang mungkin bisa kita serap untuk melihat seperti apa sebetulnya gaya belajar yang tepat bagi kita. Apa pun gaya yang akan kita pilih dan ikuti, hal terpenting yang tak boleh dilupakan.
• Ada empat gaya belajar yang dikemukan oleh Anthony Gregore seorang profesor kurikulum instruksi di Universitas Connecticut yaitu:
1. Sekuensial konkrit yaitu mengutamakan realitas sebagai objek untuk memandang sesuatu.
2. Acak konkrit yaitu kecenderungan belajar dengan cara bereksprimen.
3. Acak abstrak yaitu gaya belajar yang cenderung memandang dunia dengan perasaan dan emosi untuk merefleksikan dan menemukan fikiran baru dari hasil perenungannya.
4. Sekuensial abstrak yaitu gaya belajar yang tidak beraturan dan cenderung mengikuti situasi yang ada, untuk itu perlu mempelajari logika untuk menggali kemampuan yang terpendam.
Dari keempat gaya belajar tersebut diatas maka setiap anak didik memunyai kecenderungan yang unik dalam memaksimalkan kemampuan yang dimiliki. Semakin kreatif seseorang dalam mencipta, maka belajar cara revolusi menjadi alternatif model pertimbangan. Terlebih pada situasi pasar global yang menuntut cepat dalam mengambil keputusan dalam setiap saat. Kecerdasan bisnis untuk tetap bisa survive dengan kompetisi tiada batas antar negara memberi peluang bagi anak didik untuk mandiri dalam belajar. Pembatasan wilayah yang telah terpecahkan melalui media computer dan internet semakin menambah luas jaringan untuk membuka wawasan yang serba baru dengan kecepatan yang tinggi.
Dampak globalisasi membawa keuntungan sekaligus tantangan bagi anak didik untuk kreatif menggunakan kesempatan yang tidak diperoleh sebelumnya oleh guru yang mengajar. Kesempatan untuk mencari informasi tanpa guru sangat mungkin dalam kemajuan teknologi yang serba canggih. Teman bisa berperan sebagai guru, begitupun guru berperan sebagai teman. Anak didikpun berfungsi sebagai guru untuk orang lain dan dirinya sendiri. Di zaman yang serba canggih ini, semuanya menjadi mungkin, bukan sekedar impian kosong mewujudkannya. Jasa dan kepribadian serta penalaran merupakan hal yang dipertaruhkan dalam tuntutan masa sekarang.
• Gaya Belajar Visual,Auditorial,Kinestetik
Selain gaya belajar yang dikemukakan oleh Anthony Gregore di atas ada juga gaya belajar yang lain.
Dalam buku Quantum Learning dipaparkan 3 modalitas belajar seseorang yaitu : “modalitas visual, auditori atau kinestetik (V-A-K). Walaupun masing_ masing dari kita belajar dengan menggunakan ketiga molalitas ini pada tahapan tertentu, kebanyakan orang lebih cenderung pada salah satu di antara ketiganya”.
2.1. Gaya Belajar Visual (belajar dengan cara melihat)
Bagi siswa yang bergaya belajar visual, yang memegang peranan penting adalah mata / penglihatan ( visual ), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih banyak / dititikberatkan pada peragaan / media, ajak mereka ke obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis. Anak yang mempunyai gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka gurunya untuk mengerti materi pelajaran. Mereka cenderung untuk duduk di depan agar dapat melihat dengan jelas. Mereka berpikir menggunakan gambar-gambar di otak mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan-tampilan visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan video. Di dalam kelas, anak visual lebih suka mencatat sampai detil-detilnya untuk mendapatkan informasi.
Ciri-ciri gaya belajar visual :
• Bicara agak cepat
• Mementingkan penampilan dalam berpakaian/presentasi
• Tidak mudah terganggu oleh keributan
• Mengingat yang dilihat, dari pada yang didengar
• Lebih suka membaca dari pada dibacakan
• Pembaca cepat dan tekun
• Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi tidak pandai memilih kata-kata
• Lebih suka melakukan demonstrasi dari pada pidato
• Lebih suka musik dari pada seni
• Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya.
• Teliti terhadap detail
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak visual :
1. Gunakan materi visual seperti, gambar-gambar, diagram dan peta.
2. Gunakan warna untuk menghilite hal-hal penting.
3. Ajak anak untuk membaca buku-buku berilustrasi.
4. Gunakan multi-media (contohnya: komputer dan video).
5. Ajak anak untuk mencoba mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar.
2.2 Gaya Belajar Auditori (belajar dengan cara mendengar)
Siswa yang bertipe auditori mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga ( alat pendengarannya ), untuk itu maka guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Anak yang mempunyai gaya belajar auditori dapat belajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru katakan. Anak auditori dapat mencerna makna yang disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan hal-hal auditori lainnya. Informasi tertulis terkadang mempunyai makna yang minim bagi anak auditori mendengarkannya. Anak-anak seperi ini biasanya dapat menghafal lebih cepat dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan kaset.
Ciri-ciri gaya belajar auditori :
• Saat bekerja suka bicaa kepada diri sendiri
• Penampilan rapi
• Mudah terganggu oleh keributan
• Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat
• Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
• Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
• Biasanya ia pembicara yang fasih
• Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
• Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik
• Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan Visual
• Berbicara dalam irama yang terpola
• Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak auditori :

1. Ajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga.
2. Dorong anak untuk membaca materi pelajaran dengan keras.
3. Gunakan musik untuk mengajarkan anak.
4. Diskusikan ide dengan anak secara verbal.
5. Biarkan anak merekam materi pelajarannya ke dalam kaset dan dorong dia untuk mendengarkannya sebelum tidur.
2.3. Kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh)
Anak yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajar melalui bergerak, menyentuh, dan melakukan. Anak seperti ini sulit untuk duduk diam berjam-jam karena keinginan mereka untuk beraktifitas dan eksplorasi sangatlah kuat. Siswa yang bergaya belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan.
Ciri-ciri gaya belajar kinestetik :
• Berbicara perlahan
• Penampilan rapi
• Tidak terlalu mudah terganggu dengan situasi keributan
• Belajar melalui memanipulasi dan praktek
• Menghafal dengan cara berjalan dan melihat
• Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca
• Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita
• Menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
• Menyukai permainan yang menyibukkan
• Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu
• Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak kinestetik:

1. Jangan paksakan anak untuk belajar sampai berjam-jam.
2. Ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya (contohnya: ajak dia baca sambil bersepeda, gunakan obyek sesungguhnya untuk belajar konsep baru).
3. Izinkan anak untuk mengunyah permen karet pada saat belajar.
4. Gunakan warna terang untuk menghilite hal-hal penting dalam bacaan.
5. Izinkan anak untuk belajar sambil mendengarkan musik.
Gaya belajar dapat menentukan prestasi belajar anak. Jika diberikan strategi yang sesuai dengan gaya belajarnya, anak dapat berkembang dengan lebih baik. Gaya belajar otomatis tergantung dari orang yang belajar. Artinya, setiap orang mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda.
Gaya belajar lain yang juga unik adalah yang disebut Tactual Learners atau kita harus menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar kita bisa mengingatnya. Tentu saja, ada beberapa karekteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa melakukannya. Pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar kita bisa terus mengingatnya. Kedua, hanya dengan memegang kita bisa menyerap informasinya tanpa harus membaca penjelasannya. Karakter ketiga adalah kita termasuk orang yang tidak bisa/tahan duduk terlalu lama untuk mendengarkan pelajaran. Keempat, kita merasa bisa belajar lebih baik bila disertai dengan kegiatan fisik. Karakter terakhir, orang-orang yang memiliki gaya belajar ini memiliki kemampuan mengkoordinasikan sebuah tim dan kemampuan mengendalikan gerak tubuh (athletic ability).
3.Tipe Kecerdasan Anak
3.1 Kecerdasan matematika dan logika atau cerdas angka
Memuat kemampuan seorang anak berpikir secara induktif dan deduktif, kemampuan berpikir menurut aturan logika dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah melalui kemampuan berpikir. Anak-anak dengan kecerdasan matematika dan logika yang tinggi cenderung menyenangi kegiatan analisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu.
Mereka menyenangi cara berpikir yang konseptual, misalnya menyusun hipotesis, mengategori, dan mengklasifikasi apa yang dihadapinya. Anak-anak ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan yang tinggi dalam menyelesaikan problem matematika.
Bila kurang memahami, mereka cenderung bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahaminya. Anak-anak yang cerdas angka juga sangat menyukai permainan yang melibatkan kemampuan berpikir aktif seperti catur dan bermain teka-teki. Setelah remaja biasanya mereka cenderung menggeluti bidang matematika atau IPA, dan setelah dewasa menjadi insinyur, ahli teknik, ahli statistik, dan pekerjaan-pekerjaan yang banyak melibatkan angka.
3.2Kecerdasan bahasa atau cerdas kata
Memuat kemampuan seorang anak untuk menggunakan bahasa dan kata-kata baik secara lisan maupun tulisan dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasannya. Anak-anak dengan kemampuan bahasa yang tinggi umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan bahasa seperti membaca, membuat puisi, dan menyusun kata mutiara.
Anak-anak ini cenderung memiliki daya ingat yang kuat akan nama-nama orang, istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal kemampuan menguasai bahasa baru, anak-anak ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Pada saat dewasa biasanya mereka akan menjadi presenter, pengarang, penyair, wartawan, penerjemah, dan profesi-profesi lain yang banyak melibatkan bahasa dan kata-kata.
3.3 Kecerdasan musikal atau cerdas musik
Memuat kemampuan seorang anak untuk peka terhadap suara-suara nonverbal yang berada di sekelilingnya, dalam hal ini adalah nada dan irama. Anak-anak ini senang sekali mendengar nada-nada dan irama yang indah, mulai dari senandung yang mereka lakukan sendiri, dari radio, kaset, menonton orkestra, atau memainkan alat musik sendiri. Mereka lebih mudah mengingat sesuatu dengan musik. Saat dewasa mereka dapat menjadi penyanyi, pemain musik, komposer pencipta lagu, dan bidang-bidang lain yang berhubungan dengan musik.
3.4. Kecerdasan visual spasial atau cerdas gambar
Memuat kemampuan seorang anak untuk memahami secara lebih mendalam mengenai hubungan antara objek dan ruang. Anak-anak ini memiliki kemampuan menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya, atau menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi. Setelah dewasa biasanya mereka akan menjadi pemahat, arsitek, pelukis, desainer, dan profesi lain yang berkaitan dengan seni visual.
3.5. Kecerdasan kinestetik atau cerdas gerak
Memuat kemampuan seorang anak untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada anak-anak yang unggul dalam bidang olah raga, misalnya bulu tangkis, sepak bola, tenis, renang, basket, dan cabang-cabang olah raga lainnya, atau bisa pula terlihat pada mereka yang unggul dalam menari, bermain sulap, akrobat, dan kemampuan-kemampuan lain yang melibatkan keterampilan gerak tubuh.
3.6. Kecerdasan inter personal atau cerdas teman
Memuat kemampuan seorang anak untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan ini disebut juga kecerdasan sosial, dimana seorang anak mampu menjalin persahabatan yang akrab dengan teman-temannya, termasuk berkemampuan memimpin, mengorganisasi, menangani perselisihan antar teman, dan memperoleh simpati dari anak yang lain. Setelah dewasa mereka dapat menjadi aktivis dalam organisasi, public relation, pemimpin, manajer, direktur, bahkan menteri atau presiden.
3.7. Kecerdasan intra personal atau cerdas diri
Memuat kemampuan seorang anak untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Mereka cenderung mampu mengenali kekuatan atau kelemahan dirinya sendiri, senang mengintropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya dan kemudian mencoba untuk memperbaiki dirinya sendiri. Beberapa di antara mereka cenderung menyenangi kesendirian dan kesunyian, merenung dan berdialog dengan dirinya sendiri. Saat dewasa biasanya mereka akan menjadi ahli filsafat, penyair, atau seniman.
3.8. Kecerdasan naturalis atau cerdas alam
Memuat kemampuan seorang anak untuk peka terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam terbuka seperti cagar alam, gunung, pantai, dan hutan. Mereka cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, flora dan fauna, bahkan benda-benda di ruang angkasa. Saat dewasa mereka dapat menjadi pecinta alam, pecinta lingkungan, ahli geologi, ahli astronomi, penyayang binatang, dan aktivitas-aktivitas lain yang berhubungan dengan alam dan lingkungan.
Dengan konsep Multiple Intelligences (Kecerdasan Ganda), Howard Gardner ingin mengoreksi keterbatasan cara berpikir yang konvensional mengenai kecerdasan, bahwa seolah-olah kecerdasan hanya terbatas pada hasil tes intelegensi yang sempit saja, atau hanya sekadar dilihat dari prestasi yang ditampilkan seorang anak melalui ulangan maupun ujian di sekolah belaka.
Anak-anak unggul pada dasarnya tidak akan tumbuh dengan sendirinya, mereka memerlukan lingkungan subur yang diciptakan untuk itu. Oleh karena itu diperlukan kesungguhan dari orang tua dan pendidik untuk secara tekun dan rendah hati mengamati dan memahami potensi anak atau murid dengan segala kelebihan maupun kekurangannya, dan menghargai seriap bentuk kecerdasan yang berlainan.
ALLAH MAHA PEMAAF DAN PENGAMPUN

1. Daripada Anas bin Malik Radhiallahu 'anhu telah berkata : Aku mendengar Rassulullah S.A.W bersabda : Sesungguhnya Allah berfirman (maksud) : Wahai anak Adam! Apabila engkau memohon dan mengharapkan pertolonganKu maka Aku akan mengampunimu dan Aku tidak menganggap bahawa ia suatu yang bebanan. Wahai anak Adam! Sekalipun dosa kamu seperti awan meliputi langit kemudian kamu memohon keampunanKu, nescaya Aku akan mengampuninya. Wahai anak Adam! Jika kamu menemuiku(selepas mati) dengan kesalahan sebesar bumi, kemudiannya kamu menemuiKu dalam keadaan tidak syirik kepadaKu dengan sesuatu nescaya Aku akan datang kepadamu dengan pengampunan terhadap dosa sebesar bumi itu.
- Riwayat imam Tarmizi dan kata beliau ia adalah hadis Hasan Sohih -
2. Di dalam sohih Muslim tercatat : Firman Allah Ta'ala ( maksud ) : Sesiapa yang mendekatiKu sejengkal maka Aku akan mendekatinya sehasta. Dan sesiapa yang menghampiriKu sehasta maka aku kan menghampirinya sepemeluk dan sesiapa yang datang kepadaKu dalam keadaan berjalan maka Aku akan kepada dalam keadaan bersegera. Dan sesiapa menemuiKu(selepas mati) dengan dosanya sebesar bumi tetapi tidak syirik padaKu dengan sesuatu nescaya Aku akan menemuinya dalam keadaan mengampuni dosa sebesar bumi itu.
3. Hadis yang artinya : Demi tuhan yang mana diriku berada pada tanganNya (kekuasaan) sekiranya kamu melakukan kesalahan sehingga memenuhi dosa-dosa itu antara langit dan bumi kemudian kamu memohon keampunan Allah nescaya Dia akan mengampunimu.
4. Di dalam Hadis Qudsi yang artinya : Satu kebaikan akan diganda sepuluh malah lebih, manakala satu kejahatan tetap dikira satu (tidak diganda) ataupun aku mengampuninya. Sekalipun kamu menemuiKu(selepas ,mati) dengan dosa sebesar bumi tetapi tidak syirik kepadaKu dengan sesuatu maka Aku akan menemuinya dengan mengampuni dosa sebesar itu.
- Dipetik dari kitab Al-Ittihafat -
5. Dalam hadis sohih yang lain yang artinya :Doa adalah senjata bagi orang mukmin, tiang agama dan cahaya yang menerangi langit dan bumi.
6. Rasulullah S.A.W telah bersabda yang artinya : Sesiapa yang banyak beristighfar maka Allah akan menjadikan baginya daripada setiap kesusahan jalan penyelasaian, daripada setiap kesempitan jalan keluar dan akan diberikan rezeki dengan cara yang tidak diketahui.
7. Rasulullah S.A.W telah bersabda yang artinya : Tiada daripada seorang muslim yang memohon doa sedangkan dia sendiri bersih dari dosa dan juga dia tidak pernah memutuskan perhubungan silaturrahim sesama manusia melainkan Allah akan menganugerahi kepadanya satu dari tiga perkara ini : sama ada terus diterima doanya, sama ada Dia akan menangguhnya sehingga hari akhirat ataupun disimpan(ampun) segala kejahatan yang seumpanya (permintaan tadi). Maka para sahabat bertanya : Sekalipun banyak? Sabda baginda S.A.W : Allah lebih banyak pemberianNya.

Senin, 19 Desember 2011

pendidikan inklusi

MODEL DAN STRATEGI PEMBELAJARAN ABK DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF

Oleh:
WINDARI PANDANITA

A. Pendahuluan

Indonesia dapat dipromosikan menjadi laboratorium hidup Pendidikan Inklusif. Hal ini dilatarbelakangi oleh keragaman budaya, bahasa, agama, dan kondisi alam yang terfragmentasi secara geologis dan geografis. "Indonesia adalah laboratorium terbesar dan paling menarik untuk menghadapi permasalahan dan tantangan pendidikan inklusif, karena inilah negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 buah. Pendidikan inklusif bukan hanya ditujukan untuk anak-anak cacat atau ketunaan, melainkan juga bagi anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS, anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak korban bencana alam. "Anak-anak ini semua membutuhkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Anak-anak tersebut dalam paradigma pendidikan inklusif disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). ABK ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi: anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.

Untuk menangani ABK tersebut dalam setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus. Dalam hal ini, ada empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah, yaitu: peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek fleksibilitas dan aksesibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan guru.
B. Aspek-aspek penting dalam Pendidikan Inklusif

Sebelum membahas aspek-aspek penting dalam pendidikan inklusif, terlebih dahulu penulis perlu memberikan gambaran tentang konsep dasar ABK yang dibahas dalam makalah ini. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang mempunyai kebutuhan, baik permanen maupun sementara, yang disebabkan oleh kondisi sosial-emosi, dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik dan/atau, kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian. Dengan kata lain, kita tidak hanya membicarakan kelompok minoritas yang disebabkan oleh kelainan saja, tetapi mencakup sejumlah besar anak yang sekolah. Oleh karenanya, sekolah hendaknya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan pendidikan khusus. Mengubah sekolah atau kelas tradisional menjadi inklusif, ramah terhadap pembelajaran merupakan suatu proses dan bukan suatu kejadian tiba-tiba. Proses ini tidak akan terjadi dalam sehari, karena memerlukan waktu dan kerja kelompok.
Selanjutnya aspek-aspek penting yang harus diperhatiakan dalam menyelenggarakan sekolah yang inklusif adalah:

1. Guru perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar belakang dan kemampuan yang beragam. Peningkatan kemampuan ini dapat kita lakukan dengan berbagai cara, seperti: pelatihan, tukar pengalaman, lokakarya, membaca buku, dan mengeksplorasi/menggali sumber lain, kemudian mempraktekkannya di dalam kelas.

2. SEMUA anak memiliki hak untuk belajar, tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak yang telah ditandatangani semua pemerintah di dunia.

3. Guru menghargai semua anak di kelas, guru berdialog dengan siswanya; guru mendorong terjadinya interaksi di antara anak-anak; guru mengupayakan agar sekolah menjadi menyenangkan; guru mempertimbangkan keragaman di kelasnya; guru menyiapkan tugas yang disesuaikan untuk anak; guru mendorong terjadinya pembelajaran aktif untuk semua anak.

4. Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap orang berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan bermain bersama. Mereka yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan tidak diskriminatif, sensitif terhadap semua budaya, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari anak.

5. Lingkungan pembelajaran yang inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan informasi yang diperoleh untuk melindungi diri dari penyakit dan bahaya. Selain itu, tidak ada kekerasan terhadap anak, pemukulan atau hukuman fisik.
Menurut laporan UNESCO tahun 2003, ketika Pendidikan Inklusif diterapkan, penelitian terkini menunjukkan adanya peningkatan prestasi dan kemajuan pada semua anak. Di banyak daerah di dunia dilaporkan, bahwa diperoleh manfaat pribadi, sosial, dan ekonomi dengan mendidik anak-anak usia sekolah dasar yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum. Kebanyakan siswa dengan kebutuhan khusus ini berhasil diakomodasi dengan lebih menyenangkan melalui cara yang ramah dan menghargai keragaman ini.
Adapun manfaat lingkungan pembelajaran yang inklusif adalah sebagai berikut:

1. Manfaat bagi anak, yaitu: kepercayaan dirinya berkembang; bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya; belajar secara mandiri; mencoba memahami dan mengaplikasikan pelajaran di sekolah dalam kehidupan sehari-hari; berinteraksi secara aktif bersama teman dan guru; belajar menerima perbedaan dan beradaptasi terhadap perbedaan; dan anak menjadi lebih kreatif dalam pembelajaran.
2. Manfaat bagi guru, antara lain: mendapat kesempatan belajar cara mengajar yang baru dalam melakukukan pembelajaran bagi peserta didik yang memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam; mampu mengatasi tantangan; mampu mengembangkan sikap yang positif terhadap anggota masyarakat, anak dan situasi yang beragam; memiliki peluang untuk menggali gagasan-gagasan baru melalui komunikasi dengan orang lain di dalam dan di luar sekolah; mampu mengaplikasikan gagasan baru dan mendorong peserta didik lebih proaktif, kreatif, dan kritis; memiliki keterbukaan terhadap masukan dari orangtua dan anak untuk memperoleh hasil yang positif.
3. Manfaat bagi orangtua, antara lain: orangtua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana anaknya dididik; mereka secara pribadi terlibat dan merasa lebih penting untuk membantu anak belajar. Ketika guru bertanya pendapat mereka tentang anak; orangtua merasa dihargai dan menganggap dirinya sebagai mitra setara dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas untuk anak; orangtua juga dapat belajar bagaimana cara membimbing anaknya di rumah dengan lebih baik, yaitu dengan menerapkan teknik yang digunakan guru di sekolah.
4. Manfaat bagi masyarakat, antara lain: masyarakat lebih merasa bangga ketika lebih banyak anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran; masyarakat menemukan lebih banyak "calon pemimpin masa depan" yang disiapkan untuk berpartisipasi aktif di masyarakat. Masyarakat melihat bahwa potensi masalah sosial, seperti: kenakalan dan masalah remaja bisa dikurangi; dan masyarakat menjadi lebih terlibat di sekolah dalam rangkah menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat.
C. Welcoming schools untuk semua anak

Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja bersama-sama untuk meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah satu ciri dari sekolah yang ramah (Welcoming School). Welcoming School ini telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement 1994) yang ditetapkan pada konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994 yang mengakui bahwa “Pendidikan untuk Semua” (Education for All) sebagai suatu institusi. Hal ini bisa dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar (all children can learn), setiap anak berbeda (each children are different) dan perbedaan itu merupakan kekuatan (difference ist a strength), dengan demikian kualitas proses belajar perlu ditingkatkan melalui kerjasama dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau masyarakat.

Seperti halnya kondisi nyata di sekolah, hampir setiap kelas senantiasa ada sebagian murid dalam kelas yang membutuhkan perhatian lebih, karena termasuk ABK, seperti: hambatan penglihatan, atau pendengaran, fisik, atau mental-kecerdasan atau emosi, atau perilaku-sosial, autis dan lainnya, sehingga mereka membutuhkan akses fisik dan modifikasi kurikulum serta mengadaptasikan metode pengajarannya agar semua murid dapat menyesuaikan diri secara efektif dalam semua kegiatan sekolah.

Di Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a sense of self), untuk membuat pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate), untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah (live in a changing world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued contributions).

Persoalan kurikulum di Sekolah yang Ramah merupakan tantangan terbesar bagi guru-guru dan sekolah-sekolah dalam mempertahankan keikutsertaan dan memaksimalkan partisipasi semua anak. Penyesuaian kurikulum bukanlah tentang penurunan standar persyaratan ataupun membuat latihan menjadi lebih mudah bagi murid-murid yang mempunyai keterbatasan atau berkebutuhan khusus. Tetapi adaptasi kurikulum ini untuk memenuhi keanekaragaman, membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang oleh guru-guru dan bekerjasama dengan murid-murid, orang tua, rekan-rekan guru, dan staf.
Di sekolah-sekolah yang ramah, kita dapat melihat kerja dari para guru, di mana dalam kelas, mereka melakukan upaya untuk meminimalkan hambatan untuk belajar dan
berpartisipasi untuk mempromosikan keikutsertaan seluruh anak di sekolah. Guru-guru sebaiknya bersikap fleksibel dalam menyusun penyesuaian kurikulum (make curriculum adjustments). Mereka merencanakan untuk semua kelas (plan for the whole class) dan menggunakan metode pengajaran alternatif (use alternative methods).
Selain itu, dalam welcoming schools senantiasa terdapat akses fisik yang baik (ensure physical access) dan para gurunya mempersiapkan diri lebih awal (prepare well ahead). Persiapan untuk pelajaran melibatkan pemikiran tentang bagaimana memastikan bahwa semua murid berpartisipasi dalam proses belajar dan bagaimana kebutuhan kurikulum dibedakan berdasarkan kebutuhan individu. Guru senantiasa memikirkan, bagaimana mengelompokkan kelas, dan materi apa yang diperlukan oleh anak didiknya. Semua ini tergantung pada konteks sekolah, ruang kelas, dan kebutuhan anak. Tindakan guru seperti ini sudah menunjukkan sikap inklusi. Kinerja guru yang inklusi salah satu indikasinya selalu berupaya untuk memperbaiki cara mengajar dan menyesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Pada sekolah yang ramah, guru-guru menggunakan beragam metode pengajaran dan gaya presentasi untuk menjamin bahwa semua murid memperoleh keuntungan maksimal dari sekolah. Mereka sadar bahwa dengan kebutuhan pendidikan khusus, maka membutuhkan penyesuaian dan modifikasi kurikulum yang berbeda. Memanfaatkan teknologi yang ada (use available technology) dapat membantu pemahaman anak. Kita dapat melihat bahwa welcoming schools yang inklusif terlihat berbeda dari satu negara ke negara lain.
Di samping itu, guru di sekolah yang ramah bekerja untuk mengembangkan lingkungan belajar yang suportif (supportive school environtments) di dalam kelas, di sekolah dan sekitar sekolah dalam komunitasnya. Jadi pada sekolah yang ramah itu, guru senantiasa membimbing suatu generasi yang dapat menerima dan toleran terhadap siapapun yang mempunyai kebutuhan yang berbeda. Membangun kemitraan dengan orang tua dan komunitas adalah suatu proses, yang tidak dapat terjadi dalam semalam.

D. Program dan Strategi Pembelajaran untuk Semua Anak

Untuk merealisasikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan setiap anak dari masing-masing kelompoknya di kelas, maka sebaiknya kita menggunakan strategi pembelajaran yang mendasarkan pada keberagaman (differentiation) kemampuan belajar mereka yang berbeda-beda. Strategi pembelajaran ini dapat diterapkan dengan efektif melalui perubahan atau penyesuaian antara kemampuan belajar mereka dengan harapan/target, alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan pada anak
anak dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama. Misalnya, harapan atau target belajar matematika untuk anak kelas III SD yang cepat belajarnya (high function learners) adalah memahami dan mampu menggunakan perkalian dalam soal ceritera dengan analisisnya pada tahapan berpikir abstrak.

Sedangkan untuk anak-anak yang kemampuan belajarnya rata-rata (average performers) mempelajari perkalian hanya sampai ratusan pada tahapan semi konkrit, dan untuk anak yang lambat belajarnya (slow learners) mengenali perkalian baru sampai puluhan dengan tahapan konkrit, serta bagi anak autis mempelajari matematika sampai ratusan dengan lebih banyak memfokuskan pada keunggulan visual thinkingnya (pemahaman konsep melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan sebagainya).
Demikian pula dalam alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan perkembangan belajar dari masing-masing kelompok tersebut. Jadi proses layanan pembelajarannya bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari masing-masing kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak-anak tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler.

Apabila program dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang sama itu dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing. Siswa yang belajarnya cepat tidak harus mendapatkan materi pelajaran dan alokasi waktu belajar yang sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya (average group) atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya atau sama dengan temannya yang autis.
Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu meyakini bahwa mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut pada semua anak, maka mereka memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan sejenisnya). Pemberian reward ini sangat diperlukan oleh semua anak untuk mengembangkan harga dirinya (self esteem) dan identitasnya. Khususnya buat anak-anak yang lambat belajarnya, dengan memperoleh reward pada setiap langkah selama menyelesaikan pekerjaan dan proses belajarnya, maka membuat mereka menjadi lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas atau pekerjaannnya.
Dengan kata lain, anak harus dihargai apa adanya. Mereka harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses dalam belajarnya. Ini membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat rasa senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih 'menyenangkan'. Di kelas seperti itu, harga diri anak ditingkatkan melalui reward
(penghargaan/pujian); di dalam kelompok ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak merasa sukses serta senang belajar sesuatu yang baru.Begitu juga bantuan dan bimbingan pada anak yang cerdas pun, tetap perlu diberikan walaupun tidak sebanyak dan seintensif yang diberikan pada anak autis dan anak-anak lain yang lebih lambat belajarnya.

Pada anak-anak autis dan yang lambat belajarnya membutuhkan bimbingan pada setiap tahapan belajarnya. Jadi, apabila strategi dan atmosfir proses belajar seperti telah dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan optimal, maka dapat mengantarkan semua anak untuk mencapai proses belajar yang menyenangkan (joy of learning dan fun of learning)

E. Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) ABK di Sekolah Dasar

Dengan model UASBN tentunya setiap siswa diwajibkan menyelesaikan semua soal untuk menguji kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran yang diujikan (Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA). Pada kenyataannya ketika UASBN ini dilaksanakan, siswa berkebutuhan khusus di Sekolah yang paradigmanya inklusi mengalami banyak hambatan dalam menyelesaikan soal ujiannya, karena mereka mendapatkan soal yang memiliki tingkat kesulitan dan standar kelulusan yang sama dengan anak-anak lainnya, akibatnya materi yang telah dikuasai oleh ABK tidak cukup memadai untuk menjawab soal-soal yang diujikan.
Di samping itu juga cukup dilematis bagi ABK di sekolah reguler, karena mereka tidak mungkin ikut UASBN SDLB yang secara administratif di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi, sementara USBN SD di bawah otonomi masing-masing Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, sehingga ABK yang belajar di SD dalam setting Pendidikan Inklusif mendapatkan lembaran soal yang bobotnya sama dengan anak-anak lainnya. Padahal idealnya bahan ujiannya yang menyesuaikan pada kondisi, kompotensi, dan program belajar ABK.

Adapun dampak negatif bagi ABK yang mendapatkan soal yang tidak relevan dengan kompetensinya adalah sebagai berikut:

1. Motivasi dan semangat mereka untuk mengikuti ujian menjadi menurun karena mendapat soal ujian yang belum dipahami.
2. Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan soal-soal yang baru dikenalinya.
3. Konsentrasi, atensi, dan rasa percaya diri mereka menjadi berkurang, sehingga potensi dan kemampuan belajar yang telah dikuasainya tidak dapat diwujudkan secara optimal.
4. Peluang ABK untuk mencapai standar kelulusan relatif kecil.
1. Hasil Belajar Siswa

Tiap kegiatan belajar harus mempunyai suatu tujuan yang perlu dinilai dengan beberapa cara. Penilaian harus menjabarkan hasil belajar; yaitu memberikan gambaran seberapa jauh siswa berhasil dalam mengembangkan serangkaian keterampilan, pengetahuan, dan perilaku selama pembelajaran dengan topik atau kurikulum yang fleksibel.
Hasil akhir untuk siswa harus berhubungan dengan apa yang dapat mereka lakukan sebelumnya dan apa yang dapat mereka lakukan sekarang. Hal ini tidak ada hubungannya dengan ujian standar yang dilakukan tiap akhir tahun ajaran. Siswa dalam kelompok usia atau kelas yang sama mungkin mempunyai setidaknya tiga tahun perbedaan dalam hal kemampuan umum dibandingkan teman-teman sebayanya dan dalam matematika bisa sampai tujuh tahun perbedaannya. Ini berarti bahwa membandingkan sesama siswa dengan menggunakan tes yang distandarisasi adalah tidak adil untuk seluruh anak (termasuk mereka yang kemampuan akademisnya jauh di bawah rata-rata kelasnya dan mereka yang kecerdasannya sangat jauh di atas teman-teman sebayanya).
Seorang guru, orangtua atau konselor harus melihat UASBN ini sebagai penilaian penting sejauh pertimbangan mereka pada peserta didiknya. Salah satu penyebab terbesar rendahnya penghargaan diri pada siswa adalah penggunaan perbandingan, khususnya di sekolah. Ujian akhir ini harus menjadi salah satu komponen penilaian komprehensif dari kemajuan siswa. Ujian ini ditujukan pada peningkatan kesadaran guru, peserta didik dan orangtua atau pembimbing tentang kemampuan siswa. Ini juga harus digunakan untuk mengembangkan strategi mencapai kemajuan selanjutnya. Kita tidak boleh menekankan pada kelemahan atau kekurangan siswa. Tapi, kita harus menayakan apa yang telah dicapai siswa dan menentukan bagaimana kita dapat membantu mereka untuk belajar lebih banyak lagi. Dengan disertai penilaian autentik dan berkelanjutan, maka guru dapat mengidentifikasi apa yang telah dipelajari dan dikuasai anak didik serta beberapa penyebab mengapa siswa tidak termotivasi belajar dan menyelesaikan soal ujian.

2. Penilaian Berkelanjutan

Untuk menilai hasil belajar ABK tentunya tidak hanya didasarkan pada hasil UASBN, tetapi juga mempertimbangkan dari hasil penilaian berkelanjutan. Penilaian berkelanjutan dilakukan untuk mengamati secara terus menerus tentang sesuatu yang diketahui, dipahami, dan yang dapat dikerjakan oleh siswa. Penilaian ini dapat dilakukan beberapa kali dalam setahun, misalnya: awal, pertengahan, dan akhir tahun melalui: obserasi; portofolio; bentuk ceklis (keterampilan, pengetahuan, dan perilaku); tes, kuis; dan penilaian diri serta jurnal reflektif. Dengan menggunakan penilaian yang berkelanjutan, guru dapat
mengadaptasi perencanaan dan pengajarannya sesuai fase perkembangan belajar siswa, sehingga semua siswa akan mendapatkan peluang untuk belajar dan sukses.

F. Penutup

Jadi dapat disimpulkan, bahwa model lingkungan pembelajaran yang inklusif tersebut dapat memotivasi guru, pengelolah/kepala sekolah, anak, keluarga dan masyarakat untuk membantu pembelajaran anak, misalnya di kelas peserta didik beserta guru bertanggungjawab kepada pembelajaran dan secara aktif berpartisipasi di dalamnya. Belajar berkaitan dengan materi apa yang dibutuhkan dan bermakna dalam kehidupannya. Lingkungan yang inklusif, ramah terhadap pembelajaran juga mempertimbangkan kebutuhan, minat, dan keinginan kita sebagai guru.
Ini berarti memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar bagaimana mengajar yang lebih baik. Jadi model pendidikan inklusif terfokus pada setiap kelebihan yang dibawa anak ke sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat, dan secara khusus melihat pada bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam kehidupan normal masyarakat atau sekolah, atau memperhatikan apakah mereka memiliki hambatan fisik dan sosial karena lingkungan yang tidak kondusif.